Home » , , , » Tindak Pidana dan Penegakan HAM

Tindak Pidana dan Penegakan HAM

Written By Rifky Andriyanto on Kamis, 18 April 2013 | 04.42



PENDAHULUAN

Arti ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini. 
Negara Indonesia adalah Negara Hukum ( Rechstaat ) dan bukanlah Negara Kekuasaan ( Machstaat ) sebagaimana diatur dalam Penjelasaan UUD 1945, maka sebagai Negara hokum salah satu cirinya adalah diakui dihormati dan dilindunginya hak asasi manusia, semakin terjamin perlindungan hak asasi ini, semakin tinggi kadar Negara hokum tersebut. Namun dalam kenyataanya Human Raight ( hak manusia ) diasosiasikan sebagai Human Wrong ( tingkah laku manusia yang salah ). Ini berarti dalam masalah hak asasi manusia hanya berbicara tentang tingkah laku dan prilaku manusia yang harus dilakukan dan yang harus dihindari.
Terlepas dai situ dalam makalah ini akan dibahas mengenai hak asasi manusia dalam ruang lingkup pengaturan perundang-undangan. Mengenai Hak Asasi Manusia 
dalam tata hokum perundang-undangan di indonesia telah diatur sedemikian rupa baik terdapat dalam peraturan dasar yaitu UUD 1945, juga peraturan-peraturan dibawahnya seperti Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, Perpu No.1/1999, dan Kepres No.50/1993. ataupun dalam peraturan yang bersiat khusus yang akan kami uraiakan dalam pembahsan dibawah ini. Peratusran tersebut adalh UU No.39 Tahun 1999 mengenai HAM dan UU No.26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM, namun dalam kontek pembahasan ini akan memfokuskan pada ruang lingkup pidana yang lebih cendrung diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Dasar
Dalam UU No.39 Tahun 1999 terdapat beberapa pengertian dasar yang tercantum dalam pasal 1 terutama ayat ( 1,4, dan 6 ) yaitu mengenai :
• Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.
• Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan pejabat publik.
• Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 
Ketiga Pengertian diatas merupakan pengertian yang terdapat keterkaitan
dalam bentuk tindak pidana yang diatur dalam UU No.26 Tahun 2000.

B. Bentuk Tindak Pidana HAM
Jenis-jenis tindak pidana HAM pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu : kejahatan biasa ( ordinary Crime ) dan kejahatan luar biasa (exrtra ordinary crime ). Kejahatan biasa diatur dalam KUHP, sedangkan yang menjadi pembahasan pada makalah ini adalah bentuk tindak pidana yang bersifat khusus yaitu kejahatan luar biasa, yang dalam UU No.26 Tahun 2000 terdapat pada pasal 7 dan penjabarannya terdapat dalam pasal 8 dan 9, yang digolongkan menjadi dua bagian yaitu : kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. pembunuhan;
2. pemusnahan; 
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan; 
7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau 
10. kejahatan apartheid. 

C. Pertanggung Jawaban Pidana.
Dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, permasalahan mengenai pertanggung jawaban pidana diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 40 yaitu :
 Mengenai kejahatan Genocida dengan cara 1 sampai 5 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan Genocida diatas yaitu dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pertanggungjawabannya dipidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 1 sampai 5 dan 10 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara no. 3 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. 
 Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara no. 6 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
 Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 7 sampai 9 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 
Selain beberapa pertanggung jawaban yang diatur pada pasal yang diuraikan diatas, terdapat juga pengaturan mengenai pertanggung jawaban pidana bagi seorang atasan baik militer ataupun sipil, dan kepolisian atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahannya, pengaturan ini tercantum dalam pasal 42 dengan ketentuan yaitu :
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilkukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan 
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Kedua ketentuan diatas mendapat pertanggung jawaban pidana sama seperti yang diatur dalam pasal 36, 37, 38, 29, dan 40, UU No.26 Tahun 2000.


D. Kewenangan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM menurut UU Pengadilan HAM ini berdasarkan pasal 4, 5, dan 6 adalah :
 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
 Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negaraIndonesia.
 pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.

E. Sistematika dan Beberapa Hal yang Diatur dalam UU No.39 Tahun 1999.
UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM hanya mengatur mengenai ketentuan HAM secara global berupa pengertian , hak-hak yang dimaksud, peran masyarkat dan tanggung jawab pemerntah, serta suatu lembaga yang menjdi alat untuk tercapainya penegakan HAM di Indonesia, namun dalam UU ini tidak mengatur mengenai ketentuan pidananya apabila terjadi pelanggaran.
Berbicara mengenai hak asasi manusia dalam UU HAM ini sangatlah luas, karena berkaitan dengan berbagai hak yang harus diterima bahkan dilindungi oleh manusia baik sebagai individu maupun hubungan masyarakat dengan negara. 
Dalam UU No.39 Tahun 1999 ini terdapat 11 bab dengan perincian : Bab I mengenai ketentuan umum terdiri dari 1 pasal, Bab II mengenai asas-asas dasar terdiri dari 7 pasal, Bab III mengenai HAM dan Kebebasan Manusia terdiri dari 58 pasal, Bab IV mengenai kewajiban dasr manusia yang terdiri dari 4 pasal, Bab V mengenai kewajiban dan tanggungjawab pemerintah terdiri dari 2 pasal, Bab VI mengenai pembatasan dan larangan terdiri dari 2 pasal, Bab VII mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terdiri dari 25 pasal, Bab VIII mengenai partisipasi masyarakat terdiri deri 4 pasal, Bab IX mengenai pengadilan hak asasi manusia terdiri dari 1 pasal, Bab X mengenai ketentuan peralihan terdiri dari 1 pasal, dan Bab XI mengenai ketentuan penutup terdiri dari 1 pasal. 

F. Fenomena Penegakan HAM di Indonesia
HAM di Indonesia dinilai kurang begitu ditegakan karena banyak kaum-kaum ploletar atau orang-orang yang memiliki status sosial yang minoritas maupun keadaan sosoio-ekonominya kurang, yang tersinggirkan haknya sehingga tidak ada ruang gerak sedikitpun untuk bisa memasuki wilayah hukum maupun wilayah dunia kerja yang dimata hukum masih dipandang sebelah mata bahkan tidak dianggap sedikitpun karena keadaannya.
Buruknya capaian HAM yang ada di Indonesia dalam tataran implementasi selain disebabkan oleh sistem yudisial dan politik, menurut Dirjen Hukum dan HAM, seperti yang ditulis oleh Kompas, juga disebabkan oleh masih sempitnya pemahaman penyelenggara negara akan HAM. Pemahaman akan pelanggaran HAM di sini masih terbatas pada bentuk-bentuk pelanggaran kasus HAM berat. Kondisi ini diperburuk lagi oleh masih rendahnya juga pemahaman masyarakat akan HAM, sehingga menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hak-haknya. Padahal pelanggaran HAM bukan hanya pada besar kecilnya kasus tetapi semua kejadian yang melanggar hak hak asasi manusia –hak dasar hidup manusia. Faktor lain yang juga turut memperburuk capaian HAM di Indonesia adalah masih terpecah-pecahnya masyarakat madani, sudah terkooptasinya kelompok profesi oleh kepentingan modal dan tidak terorganisasinya masyarakat. 



KESIMPULAN

Permasalahan seputar HAM adalah bukan suatu permasalahan yang baru, namun tetap hangat untuk diperbuincangkan karena meupakan suatu permasalahan yang terus berkembang. Pada dasr pengaturan mengenai HAM sudah ada sejak dahulu pada saat mulai adanya code civil di perancis, namun mulai menjadi permasalahan internasional semenjan adanya pengaturan yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dalam Declaration of Human Right, yang sampai sekarang menjadi acuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Demikan pula halnya indonesia yang sampai pada titik optimalnya membuat suatu perundng-undangan yang mengatur mengenai HAM yaitu UU No.39 Tahun 1999, namun UU ini hanya mengatur ketentuan HAM secara global saja, dan pada akhirnya dibentuk suatu peraturan baru untuk menyikapi segala pelangaran HAM yang terjadi yaitu UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang didalam isinya mengatur tentang pelanggaran HAM besar yang berupa Genocida dan kejahatan kemanusiaan, yang dalam UU Pengadilan ini dapat dipertanggung jawabkan dengan pidana dari pidana penjara 5 tahun, penjara seumur hidup, sampai dengan pidana mati.
Adanya UU Pengadilan HAM ini juga dapat berlaku surut untuk sebagai dasar pemidanaan terhadap pelanggaran HAM berat yang pernah terjdi pada waktu silam , karena pada dasarnya asas retroaktif yang ketetuannya tidak berlaku pada KUHP, namun dapat berlaku secara insidential terhadap kasus pelanggaran HAM berat.
Bagian terakhir yang terpenting adalah bagaimana peraturan yang telah dibuat ini dapat berlaku secara maksimal baik dalam penerapannya maupun proses penegakannya yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, sehingga supremasi hukum dapat ditegakan di bumi nusantara ini.
Share this article :

1 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Jejak Rifky Andriyanto | Media Inspirasi dan Informasi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger